Friday, March 23, 2007

Belajar Ekonomi Kerakyatan dari Negeri Lain

"Betul, ada bantuan kredit kepada petani, tapi tidak semurah dan semudah yang diterima petani di Taiwan." Ungkapan itu dikemukakan mantan Kepala Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam) Marzuki Usman saat berbicara dalam seminar ekonomi kerakyatan di Universitas Muhammadiyah Gresik (10/3).

Dalam seminar untuk merayakan Milad Nasional ke-43 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), mantan menteri di era BJ Habibie, Megawati, dan Gus Dur itu menjelaskan ekonomi sosialis (komunis) dan kapitalis (liberal) telah gagal. "Negara komunis seperti Uni Sovyet, Yugoslavia, Jerman Timur, dan RRC telah mencoba melakukan pemaksaan selera penguasa dalam hal penentuan barang dan jasa yang diproduksi, alokasi sumber daya ekonomi, dan distribusi barang dan jasa kepada rakyat, namun hasilnya justru rakyat miskin dan elit politik yang makmur," tegasnya.

Menurut mantan Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya di era mantan Presiden BJ Habibie itu, negara liberalis menyerahkan sepenuhnya proses memakmurkan rakyat kepada mekanisme pasar, namun hasilnya menimbulkan kesenjangan yang besar antara miskin-kaya."Dari pengalaman itu, peranan pemerintah sebenarnya mutlak diperlukan, namun sifatnya harus terbatas, limited government, atau small government, kemudian wakil rakyat melalui proses demokrasi memberi janji untuk memakmurkan rakyat," paparnya.

Di Amerika Serikat (AS) yang merupakan dedengkot negara kapitalis dan persaingan bebas saja, katanya, ada program yang nyata-nyata berpihak kepada sistem ekonomi kerakyatan, seperti bantuan subsidi kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan juga kepada koperasi. Mantan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di era mantan Presiden Megawati itu mengatakan di Taiwan juga disediakan kredit sebesar Rp1,3 miliar kepada setiap petani dengan bunga cuma tiga persen per-tahun."Finlandia menyediakan kredit murah jangka panjang 100 tahun kepada petani yang menanam pohon hutan. Jadi, sistem ekonomi kerakyatan itu tidak mungkin dapat dicapai kalau sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, namun perlu ada keberpihakan pemerintah dan legislatif," ungkapnya.

Namun, kata mantan Menteri Kehutanan di era mantan Presiden Gus Dur itu, ekonomi kerakyatan di Indonesia masih sebatas bibir, karena bantuan kredit kepada petani diberikan, tapi tidak semurah dan semudah di Taiwan.Deputy Chairman PT Lippo E-Net Tbk itu merinci bantuan yang diberikan kepada rakyat adalah Bimas, Inmas, Insus, KUT, Kredit Candak Kulak, Kredit Investasi Kecil, Kredit Modal kerja Kecil, kredit-kredit melalui koperasi (PIR, PIR koperasi, dan sebagainya), subsidi benih, dan subsidi pupuk.

Selain itu, operasi pasar khusus untuk beras, penjaminan kredit melalui Askrindo dan Perum PKK, kredit murah untuk RSS, perbaikan kampung, pembuatan dan perbaikan saluran irigasi, jalan, dan jembatan, Inpres Desa, Inpres Kesehatan, Inpres Pasar, Inpres Penghijauan, Puskesmas, Posyandu, dan sebagainya."Tapi, keberpihakan kepada golongan mampu (kaya) lebih mencolok seperti pada kasus Kredit Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang cuma dikenakan bunga 12 persen setahun dengan plafon tanpa batas," ucapnya.

Jadi, proses pemberian kredit akhirnya hanya dinikmati segolongan konglomerat dan bukan berpihak kepada usaha-usaha untuk menyejahterakan rakyat. Usaha untuk memakmurkan rakyat selama ini masih terbatas kepada pangan dan papan saja."Untuk petani di Jawa yang memiliki lahan harus ada keberpihakan Pemerintah pusat dan daerah untuk memakmurkan mereka melalui bantuan teknologi dan pembiayaan yang murah serta pemasaran hasil produksi petani itu ke dunia," katanya.

Untuk petani di Jawa yang tidak memiliki lahan, katanya, perlu disediakan lahan garapan milik pemerintah pusat dan daerah dengan sistem bagi hasil yang memihak kepada pemakmuran petani."Untuk petani di luar Jawa, lahan bukanlah merupakan masalah, namun perlu budaya kerja keras haruslah ditanam secara rajin, karena itu Balai Latihan Kerja yang telah tersebar di seluruh perlu dimaksimalkan pemanfaatannya," kilahnya.

Untuk nelayan Pantura, katanya, perlu dibantu penyediaan sarana untuk penangkapan ikan, pengolahan hasil, dan pemasaran ke dunia, sedangkan untuk para penyedia jasa-jasa di bidang pariwisata, seni dan budaya, agar jelas-jelas dibantu sehingga jasa-jasa mereka dapat dipasarkan ke dunia.Dalam renungan akhir tahun 2003 sekaligus memperingati Setahun Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM (9/12/03), almarhum Prof Dr Mubyarto yang dikenal pejuang ekonomi kerakyatan menegaskan bahwa semangat nasionalisme bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir sudah sangat mengendur."

Kendurnya nasionalisme itu karena dibekukan dengan prestasi `keajaiban ekonomi` selama 32 tahun yang konon tumbuh rata-rata 7 persen/tahun, padahal yang terjadi adalah penghisapan oleh pemerintah pusat dan investor asing, sehingga terjadi ketimpangan akibat keajaiban yang menipu," ujarnya.

Pakar ekonomi kerakyatan yang meninggal dunia pada 24 Mei 2005 itu mencontokan penghisapan pada 1996 yakni Provinsi Kaltim, Riau dan Irian Jaya (Papua) dengan derajat penghisapannya masing-masing 87 persen, 80 persen dan 78 persen, sehingga ekonomi Indonesia kembali terjajah oleh ekonomi asing.Walhasil, kalau orang-orang kecil di Taiwan, RRC, Spanyol, Swiss, dan Thailand bisa hidup makmur, maka orang-orang kecil di Indonesia juga harus bisa makmur dengan Sistem Ekonomi Kerakyatan yang benar secara realitas dan bukan hanya mimpi atau "lips service."(*) (Sumber : LKBN Antara, 23 Maret 2007)