Saturday, December 13, 1997

Orba Harus Koreksi Kebijakan Ekonominya Perlu Diikuti Reformasi Ekonomi Politik

Krisis ekonomi yang terjadi sejak enam bulan terakhir merupakan krisis ekonomi terbesar yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Munculnya krisis itu membuktikan fundamental ekonomi yang telah dibangun, belum mampu melindungi perekonomian negara. Apalagi krisis berlangsung lama, maka mau tidak mau pemerintah harus segera mengoreksi kebijaksanaan perekonomiannya.

Demikian dikatakan oleh Drs Marzuki Usman MA , Kepala Badan Analisa dan Moneter, pada Departemen Keuangan RI, ketika mengisi seminar "Fundamen- tal Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Menjelang SU MPR 1998," yang dise- lenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman pada Sabtu (13/12) kemarin di Purwokerto.

Sementara itu pengamat ekonomi UGM, Drs A Tony Prasetiantono MSc menegaskan, saat ini pemerintah tidak perlu ragu dan harus berani mengambil resiko dengan berbagai kebijakan guna menyelamatkan perekonomian nasional. Meskipun kebijakan itu menjadikan tidak populernya pemerintah di sebagian kalangan, namun menjadi populer di kalangan masyarakat umumnya.

Namun Tony juga mengatakan, segala usaha yang dilakukan pemerintah, ternyata hanya bertumpu pada dua orang, yakni Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Sudrajad Djiwandono. "Apalah artinya jika hanya bertumpu pada dua orang itu," katanya dalam forum Joki Manis (pojok ekonomi, manajemen dan bisnis) live show bertema "Krisis Moneter & Likuidasi Bank", Sabtu (13/12) di Hotel Santika, yang diselenggarakan BEM FE UGM dengan Geronimo FM dan didukung Harian Bernas.

Pembicara lain adalah Theo F Toemion, pengamat pasar modal yang pernah lama menjadi pialang pasar uang di London.

Menurut mereka, kedua orang itu sudah berusaha keras mengatasi kri- sis. "Kehadiran IMF merupakan salah satu solusi yang ditawarkan bahwa jika ingin sehat, terima resep dari IMF dan bukan dari Mar'ie dan Drajad," kata Theo. Menurut Tony, sebenarnya pemerintah sudah melakukan start yang bagus seperti likuidasi 16 bank awal November lalu. "Kebijakan itu menjadikan pemerintah tidak populer di mata Probosutedjo atau Ibnu Sutowo dan pemilik bank lainnya yang dilikuidasi, namun di mata masyarakat menjadi sangat populer," ujarnya.
Karena itu, ia mengusulkan agar dalam melakukan reformasi ekonomi, mau tidak mau digabung dengan reformasi ekonomi politik. "Maksudnya adalah kebijakan ekonomi yang bernuansa politik," jelasnya.

Fundamental ekonomiMenyinggung masalah penyebab krisis finansial yang dialami sekarang ini, Marzuki menilai faktor utamanya adalah fundamental ekonomi negara. Jika fundamental ekonominya kuat, maka krisis finansial akan dapat segera diatasi.

Sedangkan faktor yang lain menurutnya, bahwa sejak tahun 1990-an, Indonesia mengalami short term capital flow, yaitu masuk dan ke luarnya arus modal jangka pendek dari dan ke luar negeri yang dilakukan pihak swasta. "Sebenarnya short term capital flow itu banyak mempunyai keuntungan apabila digunakan untuk investasi jangka panjang, seperti untuk pembiayaan proyek real estate," kata Marzuki.

Penyebab ketiga adalah adanya contagion effect, yaitu menjalarnya krisis keuangan yang bermula dari suatu negara ke negara lainnya. Penyebab keempat, adalah bahwa mata uang di kawasan Asia Tenggara mengalami over valution yang cukup berkepanjangan terhadap dolar Amerika. Hal ini dise- babkan besarnya minat investor untuk menanamkan modal, baik jangka panjang dan pendek, ke dalam suatu negara sehingga permintaan terhadap local cur- rency terus menguat di pasar uang. "Jika kondisi itu terjadi, negara yang menganut sistem managed floating exchange rate akan sangat riskan karena akan mudah terperosok ke dalam suasana over valuation tadi. Dan, itu yang terjadi di Indonesia sekarang ini," katanya.

Di samping beberapa faktor di atas, faktor lain yang juga ikut andil dalam memperburuk suasana gejolak moneter adalah adanya short term capital outflow yang terbang ke luar negeri. Selain itu, kata Marzuki, rekayasa bisnis yang menjadikan proyek non feasible menjadi nampak feasible dengan cara mark-up dan juga kolusi, turut membuat gejolak moneter semakin terasa.
SolusiUntuk mengatasi hal tersebut, Marzuki menawarkan solusi, pertama, diciptakannya sistem dan instrumen kebijaksanaan moneter dan keuangan yang canggih yang tidak hanya efektif untuk mengendalikan nilai tukar rupiah, tetapi juga yang tidak dapat merangsang kegiatan baik di pasar uang maupun di pasar modal secara produktif. Kedua, perlunya masyarakat dan pelaku ekonomi untuk disiplin dalam kegiatan transaksi dan mengendalikan diri untuk tidak berspekulasi.

Kurang aksi. Sedangkan Theo F Toemion, pengamat pasar uang mengatakan hal yang tidak jauh berbeda. Dikatakannya, saat ini Indonesia masih kurang aksi untuk mengatasi secara serius krisis moneter dan terpuruknya rupiah terhadap dolar AS.

"Setelah likuidasi 16 bank, tidak ada aksi susulan yang mampu mengatasi krisis ini," tandas pria berkacamata kecil ini.

Pada bagian lain Tony mengatakan bahwa likuidasi 16 bank sebenarnya telah meningkatkan confidence bangsa tidak hanya ekonomi tapi juga politik. Sekarang, lanjutnya, harus ada kebijakan susulan yang seperti penghapusan monopoli Bulog, BPPC dan lain-lain. Semua itu, menurutnya, telah berjalan di luar skenario. "Semula kehadiran BPPC adalah untuk kesejahteraan petani, kini malah ditekan," tukasnya.

Ditambahkan Theo, di Indonesia, otoritas Bank Indonesia di bidang moneter sangat tidak independen. Hal itu terjadi akibat banyaknya kepen- tingan yang menyertai di setiap kebijakan. "Menurut saya, Bank Indonesia tidak akan bisa independen jika kondisinya tidak berubah," katanya.

Lebih jauh Tony menandaskan yang menjadi masalah kemudian adalah keberanian pemerintah untuk melakukankebijakan susulan itu. "Tampaknya berat langkah pemerintah untuk menggulirkan kebijakan-kebijakan berikutnya, apalagi dampak dari kebijakan sebelumnya begitu besar," ucap Tony lagi.

Selain itu, juga karena rentannya masyarakat terhadap berbagai isu yang beredar. Tony dan Theo mencontohkan isu kesehatan presiden. Munculnya pernyataan Mensesneg bahwa presiden disarankan istirahat 10 hari, kondisi pasar langsung berubah.

Bukti yang muncul, imbuhnya, adalah semakin terpuruknya rupiah hingga menembus Rp 5.000/dolarnya. Karena itu Tony merasa pesimis krisis moneter dengan gonjang-ganjing rupiah sebagai fokusnya akan berakhir dalam waktu dekat. "Jika demikian keadaannya, saya khawatir jangan-jangan gonjang- ganjing rupiah masih akan berlanjut," tegasTony. (ss/kk). (Sumber : Bernas Yogya, 13 Desember 1997).

No comments: