Friday, March 23, 2007

Belajar Ekonomi Kerakyatan dari Negeri Lain

"Betul, ada bantuan kredit kepada petani, tapi tidak semurah dan semudah yang diterima petani di Taiwan." Ungkapan itu dikemukakan mantan Kepala Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam) Marzuki Usman saat berbicara dalam seminar ekonomi kerakyatan di Universitas Muhammadiyah Gresik (10/3).

Dalam seminar untuk merayakan Milad Nasional ke-43 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), mantan menteri di era BJ Habibie, Megawati, dan Gus Dur itu menjelaskan ekonomi sosialis (komunis) dan kapitalis (liberal) telah gagal. "Negara komunis seperti Uni Sovyet, Yugoslavia, Jerman Timur, dan RRC telah mencoba melakukan pemaksaan selera penguasa dalam hal penentuan barang dan jasa yang diproduksi, alokasi sumber daya ekonomi, dan distribusi barang dan jasa kepada rakyat, namun hasilnya justru rakyat miskin dan elit politik yang makmur," tegasnya.

Menurut mantan Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya di era mantan Presiden BJ Habibie itu, negara liberalis menyerahkan sepenuhnya proses memakmurkan rakyat kepada mekanisme pasar, namun hasilnya menimbulkan kesenjangan yang besar antara miskin-kaya."Dari pengalaman itu, peranan pemerintah sebenarnya mutlak diperlukan, namun sifatnya harus terbatas, limited government, atau small government, kemudian wakil rakyat melalui proses demokrasi memberi janji untuk memakmurkan rakyat," paparnya.

Di Amerika Serikat (AS) yang merupakan dedengkot negara kapitalis dan persaingan bebas saja, katanya, ada program yang nyata-nyata berpihak kepada sistem ekonomi kerakyatan, seperti bantuan subsidi kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan juga kepada koperasi. Mantan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di era mantan Presiden Megawati itu mengatakan di Taiwan juga disediakan kredit sebesar Rp1,3 miliar kepada setiap petani dengan bunga cuma tiga persen per-tahun."Finlandia menyediakan kredit murah jangka panjang 100 tahun kepada petani yang menanam pohon hutan. Jadi, sistem ekonomi kerakyatan itu tidak mungkin dapat dicapai kalau sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, namun perlu ada keberpihakan pemerintah dan legislatif," ungkapnya.

Namun, kata mantan Menteri Kehutanan di era mantan Presiden Gus Dur itu, ekonomi kerakyatan di Indonesia masih sebatas bibir, karena bantuan kredit kepada petani diberikan, tapi tidak semurah dan semudah di Taiwan.Deputy Chairman PT Lippo E-Net Tbk itu merinci bantuan yang diberikan kepada rakyat adalah Bimas, Inmas, Insus, KUT, Kredit Candak Kulak, Kredit Investasi Kecil, Kredit Modal kerja Kecil, kredit-kredit melalui koperasi (PIR, PIR koperasi, dan sebagainya), subsidi benih, dan subsidi pupuk.

Selain itu, operasi pasar khusus untuk beras, penjaminan kredit melalui Askrindo dan Perum PKK, kredit murah untuk RSS, perbaikan kampung, pembuatan dan perbaikan saluran irigasi, jalan, dan jembatan, Inpres Desa, Inpres Kesehatan, Inpres Pasar, Inpres Penghijauan, Puskesmas, Posyandu, dan sebagainya."Tapi, keberpihakan kepada golongan mampu (kaya) lebih mencolok seperti pada kasus Kredit Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yang cuma dikenakan bunga 12 persen setahun dengan plafon tanpa batas," ucapnya.

Jadi, proses pemberian kredit akhirnya hanya dinikmati segolongan konglomerat dan bukan berpihak kepada usaha-usaha untuk menyejahterakan rakyat. Usaha untuk memakmurkan rakyat selama ini masih terbatas kepada pangan dan papan saja."Untuk petani di Jawa yang memiliki lahan harus ada keberpihakan Pemerintah pusat dan daerah untuk memakmurkan mereka melalui bantuan teknologi dan pembiayaan yang murah serta pemasaran hasil produksi petani itu ke dunia," katanya.

Untuk petani di Jawa yang tidak memiliki lahan, katanya, perlu disediakan lahan garapan milik pemerintah pusat dan daerah dengan sistem bagi hasil yang memihak kepada pemakmuran petani."Untuk petani di luar Jawa, lahan bukanlah merupakan masalah, namun perlu budaya kerja keras haruslah ditanam secara rajin, karena itu Balai Latihan Kerja yang telah tersebar di seluruh perlu dimaksimalkan pemanfaatannya," kilahnya.

Untuk nelayan Pantura, katanya, perlu dibantu penyediaan sarana untuk penangkapan ikan, pengolahan hasil, dan pemasaran ke dunia, sedangkan untuk para penyedia jasa-jasa di bidang pariwisata, seni dan budaya, agar jelas-jelas dibantu sehingga jasa-jasa mereka dapat dipasarkan ke dunia.Dalam renungan akhir tahun 2003 sekaligus memperingati Setahun Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM (9/12/03), almarhum Prof Dr Mubyarto yang dikenal pejuang ekonomi kerakyatan menegaskan bahwa semangat nasionalisme bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir sudah sangat mengendur."

Kendurnya nasionalisme itu karena dibekukan dengan prestasi `keajaiban ekonomi` selama 32 tahun yang konon tumbuh rata-rata 7 persen/tahun, padahal yang terjadi adalah penghisapan oleh pemerintah pusat dan investor asing, sehingga terjadi ketimpangan akibat keajaiban yang menipu," ujarnya.

Pakar ekonomi kerakyatan yang meninggal dunia pada 24 Mei 2005 itu mencontokan penghisapan pada 1996 yakni Provinsi Kaltim, Riau dan Irian Jaya (Papua) dengan derajat penghisapannya masing-masing 87 persen, 80 persen dan 78 persen, sehingga ekonomi Indonesia kembali terjajah oleh ekonomi asing.Walhasil, kalau orang-orang kecil di Taiwan, RRC, Spanyol, Swiss, dan Thailand bisa hidup makmur, maka orang-orang kecil di Indonesia juga harus bisa makmur dengan Sistem Ekonomi Kerakyatan yang benar secara realitas dan bukan hanya mimpi atau "lips service."(*) (Sumber : LKBN Antara, 23 Maret 2007)

Monday, March 7, 2005

Change...!

BEGITULAH judul buku Rhenald Kasali yang diluncurkan pekan lalu. Tetapi saya terpaksa mengubahnya untuk menyesuaikan kebiasaan di kolom ini, yakni tiga titik kemudian ditambah dengan tanda seru. Sementara judul buku itu sendiri tak menggunakan tiga titik. Langsung tanda seru. Boleh jadi itu menggambarkan karakter Rhenald Kasali, suka tembak langsung.

Seorang guru memang harus demikian, supaya "murid" tidak bingung, langsung memahami persoalan yang dipaparkan. Rhenald juga memang seorang guru. Bahkan, menurut saya, dia seorang mahaguru. Sebagai dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Manajemen FEUI, tentu saja ia mengajar mahasiswa yang studi tingkat lanjutan. Tentu ada guru alias dosen yang menjadi "muridnya". Juga berbagai pelaku di sektor bisnis, politik, pemerintahan.

Kemahaguruannya juga dapat dinilai dari kegemarannya "mengajar" masyarakat secara luas, yakni melalui tulisan-tulisannya di media cetak, maupun perannya dalam berbagai acara di media elektronik.

"Change! Tak Perduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda Jalani, Putar Arah Sekarang Juga." Sangat provokatif memang. Tetapi memprovokasi orang lain agar kembali ke jalan benar, tentulah pekerjaan mulia.

"Dunia usaha tidak perlu takut melakukan perubahan," demikian Rhenald Kasali ketika memaparkan bukunya. Dia mengungkapkan, selama melakukan perjalanan ke daerah-daerah di Indonesia, dirinya menangkap bahwa perubahan telah menjadi aspirasi di mana-mana. Justru yang menjadi masalah adalah para pelaku manajemen yang dinilainya bergerak terlalu lama dalam merespons aspirasi tersebut.

"Hampir setiap saya memberikan ceramah tentang manajemen, selalu saja muncul pertanyaan yang sama, yaitu harus mulai dari mana?" Padahal, kata dia, perubahan dapat dimulai dari mana saja.

Inilah persoalannya. Karena tidak mengerti, akhirnya mereka melakukan kerja hari ini seperti yang dikerjakan kemarin. Padahal, masalah hari ini sudah berbeda dengan masalah kemarin. Akibatnya, kata Rhenald, kita di Indonesia seperti hidup di masa lalu dan terlalu mengandalkan "past solutions" yang tidak memberi solusi apa-apa. "Sudah sangat jelas masyarakat menuntut adanya perubahan," katanya lagi.

Berubah atau mati! Itu provokasi lain Rhenald Kasali. Buat apa suatu perubahan atau institusi terus dipertahankan kalau ia hanya menjadi beban masyarakat? Hidup, tetapi mengidap penyakit ketuaan, tidak memberi manfaat, dan menyulitkan banyak orang. Buku ini menjelaskan segala hal untuk mengelola perubahan. Untuk membuat sebuah perubahan menghasilkan prestasi besar.

Dalam setiap perubahan selalu ada dua pihak. Mereka yang menganut asas "seeing is believing" dan "believing is seeing". Padahal, untuk menciptakan perubahan, pertama-tama harus ada yang bisa mengajak semua pihak "melihat". Namun, ini saja tidak cukup. Mereka yang "melihat" belum tentu "bergerak", yang "bergerak" belum tentu "mampu menyelesaikannya".

Sebagian besar orang telah terperangkap oleh kesuksesan masa lalu. Dan seperti kata Peter Drucker, bahaya terbesar dalam turbulensi bukanlah turbulensi itu sendiri, melainkan "cara berpikir kemarin" yang masih dipakai untuk memecahkan masalah sekarang.

Dalam buku itu dia memaparkan banyak jalan yang telah ditempuh tokoh-tokoh besar dalam melakukan perubahan. Lee Kuan Yew (Singapura), misalnya, membangun negerinya dengan kebersihan, bagaimana Vaughn Beals melakukan perubahan dalam Harley Davidson, Lee Iacocca (Chrysler), Robert Voyce di Intel.

Tokoh-tokoh di dalam negeri juga ditampilkan. Disebutnya contoh Bupati Darmili (Pulau Simeulue) yang membuka daerahnya yang semula sangat terisolasi. Ada pula almarhum Cacuk Sudariyanto untuk Telkom, Marzuki Usman untuk pasar modal, Pramukti Surjaudaja (Bank NISP), dan lain sebagainya.

"We must be the change we wish to see in the world..." GANDHI. Begitu bunyi pesan singkat seorang teman ketika dia berjuang mengubah kultur sebuah badan usaha milik negara.
Menurut Rhenald, jika transformasi dilakukan secara struktural dan kultural, maka perubahan bak "pesta" yang menyenangkan. (andi suruji). (Sumber : Kompas, Senin, 7 Maret 2005)

Sunday, December 29, 2002

Menindaklanjuti Pengaduan Laksamana, Polisi Butuh Izin Presiden

Menindaklanjuti laporan Menneg BUMN Laksamana Sukardi atas tudingan Ketua MPR RI Amien Rais, Polda Metro Jaya dalam waktu dekat akan memanggil Redaksi Majalah Forum Keadilan dan juga seorang saksi ahli bahasa.

"Sejauh ini laporan sudah diterima, dan kami akan menindaklanjuti pengaduan tersebut untuk melihat kejelasan, apakah ada tindak pidana di dalamnya atau tidak," ungkap Kaditserse Polda Metro Jaya Kombes Pol Andy Chaeruddin, Sabtu kemarin.

Dia mengemukakan, kesaksian ahli bahasa perlu untuk meneliti apakah ada unsur pidana dalam pernyataan Amien Rais yang ditulis di Forum tersebut. Seperti diberitakan, Laksamana mengadukan Amien Rais atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah, antara lain atas dasar pernyataan Ketua MPR itu melalui Majalah Forum.

Namun ketika didesak, kapan kepastian pemanggilan redaksi majalah berita mingguan itu, dia belum bisa menyebutkan. Bahkan Kaditserse juga belum bisa menjelaskan, kapan akan memeriksa pelapor, Laksamana Sukardi, dan terlapor, Amien Rais.

"Kami belum bisa menjelaskan kapan waktunya. Terutama pemeriksaan terhadap Amien Rais dan Laksamana. Itu semua bergantung pada surat izin Presiden." Andy menjelaskan, surat permintaan izin pemeriksaan kedua pejabat negara itu memang belum dibuat oleh Polda Metro Jaya.

Sementara itu, Wakapolda Metro Jaya Brigjen Edi Sunarno memastikan pihaknya akan memproses pengaduan Laksamana. Namun senada dengan Andi, dia butuh izin dari Presiden. "Tentu kami tak mau bertindak terburu-buru. Harus dipelajari dulu, apakah ada tindak pidana atau tidak."

Kas Partai
Anggota MPR Fuad Bawazier menduga, penjualan badan usaha milik negara (BUMN) yang dilakukan secara tidak transparan itu terkait dengan penambahan pundi-pundi partai tertentu dalam menghadapi Pemilu 2004. Karena itu, dia mendesak agar penjualan saham Indosat ke Singapore Technologies Telemedia (STT) ditunda.

"Saya menduga penjualan BUMN-BUMN itu untuk memenuhi kas partai tertentu. Apalagi prosesnya berjalan tidak transparan," tuding Fuad seperti dikutip situs m-amienrais.com. Namun, mantan menteri keuangan itu tidak mau menyebut partai dimaksud.
Fuad yang Jumat (27/12) lalu memanjat pagar untuk mendukung aksi demo karyawan Indosat, sebelumnya menyebut ada dua alasan kenapa divestasi Indosat harus ditolak. Pertama, Indosat termasuk BUMN yang sangat strategis, sehingga tidak selayaknya dijual. Kedua, penjualannya tidak transparan.

Ketua MPR RI Amien Rais yang dicegat seusai menghadiri perayaan Natal di Balai Sidang Jakarta, Jumat malam, mendukung segala upaya agar divestasi Indosat ke STT dibatalkan. Dia melihat peluang itu masih cukup terbuka, misalnya dengan desakan kuat DPR yang berencana menggelar interpelasi atau class action dari masyarakat. "Saya kira, dengan segala upaya, ya class action atau apa pun, agar dapat dibatalkan."

Tak Bisa Dibatalkan
Meski mendapat tentangan keras dan aksi demo dari berbagai pihak agar divestasi PT Indosat dibatalkan, penjualan 41,94% saham PT Indosat tetap jalan terus. Bahkan Singapore Technologies Telemedia (STT) sebagai pemenangnya menegaskan, divestasi tidak bisa dibatalkan lantaran transaksi sudah dinyatakan tutup.

"Penjualannya sudah ditutup. Meskipun ada gelombang demonstrasi, semua tidak ada hubungan dengan transaksi," ucap juru bicara STT, Melinda Tan, di Jakarta, kemarin. Tan berpandangan, kini STT telah menjadi pemegang saham Indosat penuh.

Sementara itu mantan Kepala Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) Marzuki Usman menilai, partai politik yang mempermasalahkan kembali divestasi BUMN sebagai sikap tidak konsisten. Pasalnya, divestasi perusahaan negara telah memiliki mandat yang tertuang dalam perundang-undangan mengenai privatisasi BUMN. "Undang-undang privatisasi BUMN itu disetujui semua partai di DPR. Jadi aneh, bila ada yang mempersoalkannya lagi," tandas Marzuki di Jakarta, Sabtu siang.

Persoalan privatisasi BUMN kembali mencuat setelah divestasi PT Indosat yang dimenangkan STT mendapat penolakan karyawan yang dimotori oleh Serikat Pekerja Indosat. Serikat Pekerja tersebut menilai, penjualan saham ke perusahaan yang sahamnya dikuasai pemerintah Singapura itu membuat sektor telekomunikasi dikuasai asing.

Penilaian Gus Dur
Mantan presiden KH Abdurrahman Wahid ikut angkat bicara dalam soal itu. Dia menuding Laksamana Sukardi sebagai orang yang cacat. Dia mengaku sudah mengirim dokumen pelanggaran Laks ke Megawati. Hal itu disampaikannya saat mengikuti halalbihalal di Pendapa Kabupaten Pasuruan, Jatim, Sabtu (28/12). "Saya mempunyai 300 halaman bukti pelanggaran, sudah saya sampaikan ke Megawati, ternyata tak ada tindakan."

Bukan saja Laksamana yang konditenya diragukan Gus Dur, Menko Kesra Jusuf Kalla pun demikian. Untuk Jusuf Kalla, Gus Dur mengaku sudah menyampaikan dokumen 350 halaman ke Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung. Namun sama halnya dengan Mega, Akbar pun tak menanggapi. Melihat reaksi negatif itu, Gus Dur melihat hal tersebut masih
menggambarkan fenomena kinerja buruk pemerintah dan para politikus.(A20,bu-29,41j). (Sumber : Harian Umum Suara Merdeka Semarang, 29 Desember 2002).

Saturday, December 13, 1997

Orba Harus Koreksi Kebijakan Ekonominya Perlu Diikuti Reformasi Ekonomi Politik

Krisis ekonomi yang terjadi sejak enam bulan terakhir merupakan krisis ekonomi terbesar yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Munculnya krisis itu membuktikan fundamental ekonomi yang telah dibangun, belum mampu melindungi perekonomian negara. Apalagi krisis berlangsung lama, maka mau tidak mau pemerintah harus segera mengoreksi kebijaksanaan perekonomiannya.

Demikian dikatakan oleh Drs Marzuki Usman MA , Kepala Badan Analisa dan Moneter, pada Departemen Keuangan RI, ketika mengisi seminar "Fundamen- tal Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Menjelang SU MPR 1998," yang dise- lenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman pada Sabtu (13/12) kemarin di Purwokerto.

Sementara itu pengamat ekonomi UGM, Drs A Tony Prasetiantono MSc menegaskan, saat ini pemerintah tidak perlu ragu dan harus berani mengambil resiko dengan berbagai kebijakan guna menyelamatkan perekonomian nasional. Meskipun kebijakan itu menjadikan tidak populernya pemerintah di sebagian kalangan, namun menjadi populer di kalangan masyarakat umumnya.

Namun Tony juga mengatakan, segala usaha yang dilakukan pemerintah, ternyata hanya bertumpu pada dua orang, yakni Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Sudrajad Djiwandono. "Apalah artinya jika hanya bertumpu pada dua orang itu," katanya dalam forum Joki Manis (pojok ekonomi, manajemen dan bisnis) live show bertema "Krisis Moneter & Likuidasi Bank", Sabtu (13/12) di Hotel Santika, yang diselenggarakan BEM FE UGM dengan Geronimo FM dan didukung Harian Bernas.

Pembicara lain adalah Theo F Toemion, pengamat pasar modal yang pernah lama menjadi pialang pasar uang di London.

Menurut mereka, kedua orang itu sudah berusaha keras mengatasi kri- sis. "Kehadiran IMF merupakan salah satu solusi yang ditawarkan bahwa jika ingin sehat, terima resep dari IMF dan bukan dari Mar'ie dan Drajad," kata Theo. Menurut Tony, sebenarnya pemerintah sudah melakukan start yang bagus seperti likuidasi 16 bank awal November lalu. "Kebijakan itu menjadikan pemerintah tidak populer di mata Probosutedjo atau Ibnu Sutowo dan pemilik bank lainnya yang dilikuidasi, namun di mata masyarakat menjadi sangat populer," ujarnya.
Karena itu, ia mengusulkan agar dalam melakukan reformasi ekonomi, mau tidak mau digabung dengan reformasi ekonomi politik. "Maksudnya adalah kebijakan ekonomi yang bernuansa politik," jelasnya.

Fundamental ekonomiMenyinggung masalah penyebab krisis finansial yang dialami sekarang ini, Marzuki menilai faktor utamanya adalah fundamental ekonomi negara. Jika fundamental ekonominya kuat, maka krisis finansial akan dapat segera diatasi.

Sedangkan faktor yang lain menurutnya, bahwa sejak tahun 1990-an, Indonesia mengalami short term capital flow, yaitu masuk dan ke luarnya arus modal jangka pendek dari dan ke luar negeri yang dilakukan pihak swasta. "Sebenarnya short term capital flow itu banyak mempunyai keuntungan apabila digunakan untuk investasi jangka panjang, seperti untuk pembiayaan proyek real estate," kata Marzuki.

Penyebab ketiga adalah adanya contagion effect, yaitu menjalarnya krisis keuangan yang bermula dari suatu negara ke negara lainnya. Penyebab keempat, adalah bahwa mata uang di kawasan Asia Tenggara mengalami over valution yang cukup berkepanjangan terhadap dolar Amerika. Hal ini dise- babkan besarnya minat investor untuk menanamkan modal, baik jangka panjang dan pendek, ke dalam suatu negara sehingga permintaan terhadap local cur- rency terus menguat di pasar uang. "Jika kondisi itu terjadi, negara yang menganut sistem managed floating exchange rate akan sangat riskan karena akan mudah terperosok ke dalam suasana over valuation tadi. Dan, itu yang terjadi di Indonesia sekarang ini," katanya.

Di samping beberapa faktor di atas, faktor lain yang juga ikut andil dalam memperburuk suasana gejolak moneter adalah adanya short term capital outflow yang terbang ke luar negeri. Selain itu, kata Marzuki, rekayasa bisnis yang menjadikan proyek non feasible menjadi nampak feasible dengan cara mark-up dan juga kolusi, turut membuat gejolak moneter semakin terasa.
SolusiUntuk mengatasi hal tersebut, Marzuki menawarkan solusi, pertama, diciptakannya sistem dan instrumen kebijaksanaan moneter dan keuangan yang canggih yang tidak hanya efektif untuk mengendalikan nilai tukar rupiah, tetapi juga yang tidak dapat merangsang kegiatan baik di pasar uang maupun di pasar modal secara produktif. Kedua, perlunya masyarakat dan pelaku ekonomi untuk disiplin dalam kegiatan transaksi dan mengendalikan diri untuk tidak berspekulasi.

Kurang aksi. Sedangkan Theo F Toemion, pengamat pasar uang mengatakan hal yang tidak jauh berbeda. Dikatakannya, saat ini Indonesia masih kurang aksi untuk mengatasi secara serius krisis moneter dan terpuruknya rupiah terhadap dolar AS.

"Setelah likuidasi 16 bank, tidak ada aksi susulan yang mampu mengatasi krisis ini," tandas pria berkacamata kecil ini.

Pada bagian lain Tony mengatakan bahwa likuidasi 16 bank sebenarnya telah meningkatkan confidence bangsa tidak hanya ekonomi tapi juga politik. Sekarang, lanjutnya, harus ada kebijakan susulan yang seperti penghapusan monopoli Bulog, BPPC dan lain-lain. Semua itu, menurutnya, telah berjalan di luar skenario. "Semula kehadiran BPPC adalah untuk kesejahteraan petani, kini malah ditekan," tukasnya.

Ditambahkan Theo, di Indonesia, otoritas Bank Indonesia di bidang moneter sangat tidak independen. Hal itu terjadi akibat banyaknya kepen- tingan yang menyertai di setiap kebijakan. "Menurut saya, Bank Indonesia tidak akan bisa independen jika kondisinya tidak berubah," katanya.

Lebih jauh Tony menandaskan yang menjadi masalah kemudian adalah keberanian pemerintah untuk melakukankebijakan susulan itu. "Tampaknya berat langkah pemerintah untuk menggulirkan kebijakan-kebijakan berikutnya, apalagi dampak dari kebijakan sebelumnya begitu besar," ucap Tony lagi.

Selain itu, juga karena rentannya masyarakat terhadap berbagai isu yang beredar. Tony dan Theo mencontohkan isu kesehatan presiden. Munculnya pernyataan Mensesneg bahwa presiden disarankan istirahat 10 hari, kondisi pasar langsung berubah.

Bukti yang muncul, imbuhnya, adalah semakin terpuruknya rupiah hingga menembus Rp 5.000/dolarnya. Karena itu Tony merasa pesimis krisis moneter dengan gonjang-ganjing rupiah sebagai fokusnya akan berakhir dalam waktu dekat. "Jika demikian keadaannya, saya khawatir jangan-jangan gonjang- ganjing rupiah masih akan berlanjut," tegasTony. (ss/kk). (Sumber : Bernas Yogya, 13 Desember 1997).

Tuesday, September 17, 1996

Berbeda dengan di Eropa dan Amerika Serikat Bank Dilarang 'Bermain' di Pasar Modal

Bank nasional, baik bank swasta maupun pemerintah akan tetap dilarang bermain di pasar modal, meski di berbagai negara khususnya Eropa dan Amerika Serikat memberlakukan kebijakan tersebut, sebagai persiapan menuju globalisasi pasar keuangan internasional.

Ketua Badan Analisa Keuangan dan Moneter, Drs. Marzuki Usman MA mengungkapkan, larangan tersebut secara yuridis sebagaimana tertuang dalam UU No. 7/1994, dapat dibenarkan. "Sedangkan penyertaan modal bank yang dibenarkan adalah di luar pembelian saham perusahaan go public.

Ketentuan penyertaan modal dilakukan di perusahaan keuangan seperti bank, atau perusahaan keuangan lain, misalnya modal ventura, leasing, perusahaan efek, atau perusahaan asuransi," katanya, baru-baru ini, di Yogyakarta, saat berbicara pada seminar perbankan.

Penyertaan modal bagi bank, katanya, juga bisa dibenarkan dalam bentuk investasi ke surat-surat berharga dengan syarat kualifikasi penerbitnya bisa dipertanggungjawabkan, atau investasi sejenis yang unsur spikulasinya relatif tidak ada.

"Penanaman modal di sektor itu berbeda jauh dengan pembelian saham di pasar modal, yang dikenal unsur spikulasinya sangat tinggi. Sebab fluktuasi dan ketidakpastian perkembangan saham," ujarnya.

Di luar negeri, katanya, pasar modal sudah terorganisasi dengan baik. Dalam ikhwal perusahaan di pasar modal luar negeri, juga telah terseleksi ketat dan memiliki rating tertentu, yang menjamin kualifikasinya. Parameter perkembangan perusahaan tadi juga dapat diikuti secara transparan oleh masyarakat. "Lewat kondisi itu, kegiatan kepemilikan saham oleh bank di Eropa dan Amerika tidak menimbulkan masalah," katanya.

Menurutnya, perkembagan tersebut menunjukkan perluasan kegiatan usaha perbankan yang hampir mengaburkan antara bank sebagai lembaga keuangan dengan lembaga lainnya. Sehingga perusahaan pasar modal/skurities makin meningkat dalam pemberian jasa perbankan, sebaliknya perusahaan perbankan makin meningkatkan usahanya dalam bidang skurities.

Dengan kata lain, di pasar internasional telah terjadi perubahan-perubahan di sektor keuangan yang mengarah terjadinya integrasi pasar modal dan pasar uang, yang ditandai industri perbankan melebarkan aktivitasnya ke pasar modal.

Dikatakan, bank nasional tidak akan mengikuti restrukturisasi serupa seperti perbankan di Eropa dan Amerika. Alasannya, kebijakan semacam itu akan meningkatkan resiko usaha (risk exposure) lebih besar lagi. Memang, bank nasional tidak bisa lepas dari perubahan masyarakat ke era post industrialisasi dengan ciri kegiatan ekonomi bersifat global.

Tetapi, Marzuki menekankan, bank nasional harus belajar dari Jepang. Meskipun pasar modal Jepang relatif maju dan besar, kenyataannya tidak sedikit jumlah bank yang bangkrut disebabkan aktivitas di pasar modal. Apalagi dengan Indonesia.

"Pasar modal kita masih pada tahap pertumbuhan. Tingkat kondisi itu masih menyimpan banyak kendala dalam operasionalnya. Demikian halnya perusahaan yang go public, relatif belum diketahui secara transparan oleh masyarakat, sehingga menyulitkan untuk mengetahui kondisi sebenarnya," kata mantan Ketua Bappepam (Badan Pengawasan Pasar Modal). (Sumber : Pikiran Rakyat, dikutip HAM Online, Selasa, 17 September 1996)

Monday, January 1, 1996

Di Mana Saja Bisa Hidup

CEPAT akrab. Bicaranya lepas, ceplas-ceplos diselingi dengan humor-humor kocak. Itulah kesan awal terhadap sosok eksekutif pemerintahan, Marzuki Usman.

Namanya boleh dibilang identik dengan semangat bangkitnya bursa saham di Indonesia. Ketika di tahun 1988 Marzuki mendapat tugas menjadi ketua Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam), kondisi pasar modal waktu itu gersang, kekeringan, kalau tak mau dibilang mati. Ketika itu tercatat hanya 24 perusahaan yang go public.

Marzuki lalu bermimpi menghidupkan pasar modal itu. "Saya hanya kepingin bursa saham di Indonesia itu hidup seperti di Singapura atau di Hong Kong," katanya. Ia mulai melakukan aktivitas, antara lain mengkaji berbagai masalah yang merupakan kekurangan selama ini. "Dulu kalau ada perusahaan go public, iklannya paling besar satu halaman (surat kabar), lagi pula public expose tidak dilakukan," ujarnya. Maka, Bapepam lalu membuat acara public hearing yang juga dihadiri wartawan. Publikasi pun menjadi seru. Emiten juga tak segan memasang iklan company profile ke berbagai media.

Sejalan dengan itu Marzuki juga bergiat melobi berbagai perusahaan untuk ikut terjun di bursa saham. Ia juga gencar memasyarakatkan keberadaan bursa saham ke berbagai lapisan masyarakat. Marzuki tak pernah absen untuk menjadi pembicara seminar tentang saham di mana pun. Dari kampus, hotel berbintang, sampai di pondok pesantren. Analisa tentang bursa saham ada hampir di setiap media.

Pemerintah pun punya andil besar dalam menopang semangat Marzuki. Regulasi pasar modal cukup memudahkan calon emiten untuk go public. Sehingga pengusaha tak hanya melirik kredit bank, untuk mengembangkan usahanya, tapi juga ke bursa. Terhadap publik (calon investor) yang biasanya lebih suka menyimpan uangnya di deposito, dikenai kebijakan: bunga deposito terkena pajak. Sementara agio saham tak kena pajak. Kebijakan-kebijakan pemerintah itu sepertinya klop dengan upaya Marzuki menghidupkan bursa. Marzuki kemudian berani memasang target: sampai akhir Pelita V, 50 perusahaan sudah go public.

Tapi di tengah maraknya lantai bursa, Marzuki diserang kritik. Bapepam dianggap tidak melindungi investor karena terlalu mudah meloloskan perusahaan untuk go public. Misalnya, sebuah perusahaan, diketahui dalam dua tahun terakhir merugi, kok ternyata lolos ke bursa. "Lho, akuntan publik bilang perusahaan itu untung, dan bayar pajak. Kalau dia bilang untung kita mau apa," jawab Marzuki tangkas. Begitu mudahnya? "Mengapa harus membuat orang susah (bila) peraturannya bilang begitu? Kalau dibikin aturan yang macam-macam, maunya melindungi investor kecil, akibatnya nanti nggak ada yang masuk Pasar Modal. Itulah yang terjadi selama ini," tambah Marzuki.

Marzuki memang sangat berani dan tak tanggung-tanggung dalam menggairahkan Pasar Modal. Dalam bahasa Kwik Kian Gie, pengamat Pasar Modal, keberanian Marzuki itu sudah habis-habisan, sampai pada at all cost. Dan begitulah, ketika kritik terhadap Bapepam makin meruncing, Marzuki diganti. Tapi pada Desember 1991, ketika dia diganti sebagai Ketua Bapepam, sebanyak 140 perusahaan telah melempar saham ke Pasar Modal.

Marzuki kemudian dimutasikan ke Badan Pendidikan dan Latihan, Departemen Keuangan (BPLK), lembaga setingkat Bapepam, eselon I. Banyak orang mengira, Marzuki bakal habis di tempat barunya. Maklumlah, BPLK dikenal sebagai tempat yang kering dan tak bergengsi. Di tangan Marzuki, ternyata lain kejadiannya.

BPLK, selama ini boleh dibilang sebagai lembaga formalitas. Pegawai Departemen Keuangan yang akan naik pangkat, menempuh ujian jabatan di situ. Tapi ujiannya terkesan hanya formalitas. Soal bisa bocor, nilai bisa diatur. Hal itu yang dibenahi Marzuki. "Kalau Anda bisa mendapatkan bocoran soal tanpa ketahuan itu rezeki Anda. Tapi kalau ketahuan, tidak ada maaf, orang BPLK yang membantu bisa dipecat atau diperlambat kenaikan pangkatnya," begitulah pesan Marzuki berulang kali kepada staf BPLK dan pengikut pendidikan.

Marzuki juga menggebrak kebiasaan pegawai BPLK yang hanya tidur di kantor lalu pulang kerja pukul 14.00. Semangat dan ethos kerja ditingkatkan. Ia menyadarkan stafnya bahwa BPLK adalah lembaga strategis, yang melakukan investasi sumber daya manusia. Pelan-pelan, semangat BPLK tumbuh. Kini kegiatan di BPLK, terlihat marak, sampai malam, lepas jam kantor, masih banyak pegawai yang menyelesaikan tugasnya. Keberhasilannya memimpin BPLK sempat menarik perhatian Departemen Keuangan. Ketika jabatan Presiden Komisaris Bursa Efek Jakarta (BEJ) lowong dengan meninggalnya Oscar Suryaatmadja pada akhir 1993, Marzuki Usman diangkat menjadi Preskom baru BEJ.

Maka komentar Anwar Nasution, seorang ekonom di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Marzuki itu seperti singkong, ditanam di mana pun akan hidup. Dan akhirnya memang terbukti bahwa Marzuki tidak tenggelam di BPLK. Ketika di Departemen ada mutasi di tingkat eselon I tahun lalu ia ditugaskan memimpin unit eselon I, Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM), juga sebagai kepala.

Marzuki sebenarnya tak pernah bercita-cita jadi ekonom. Keinginannya menjadi seorang dokter. Ketika lulus SMA, ia mendaftar di Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Sospol dan Ekonomi. Ternyata hanya di Fakultas Kedokteran saja Marzuki tidak lulus testing. "Mau memilih Kedokteran Gigi, biayanya mahal. Jadi memilih Ekonomi bukan karena cita-cita," katanya.

Keluarga Marzuki bukanlah keluarga yang mampu. Di masa sekolah dasar, Marzuki sudah harus bekerja membantu di kedai pamannya. Bahkan untuk cari tambahan, pada hari pasaran, Jumat dan Sabtu, Marzuki sering membolos untuk mengangkuti penumpang dengan perahu di Sungai Batanghari. Meski begitu, prestasi sekolahnya bagus, nilai berhitungnya 9.

Ketika kuliah di UGM, Marzuki tak menampakkan keistimewaan apa-apa. Kegiatan ekstranya, aktif di HMI dan Pemuda Muhammadiyah. Itu saja. Ketika lulus sarjana, oleh dekannya, Sukadji Ranuwihardjo, Marzuki ditawari melanjutkan kuliah di University of the Philippines. Marzuki lalu membenahi bahasa Inggrisnya yang belepotan, lalu tes. Kabarnya ia diterima. Ia lalu pulang kampung untuk pamitan. Warga kampungnya bersuka cita mendengar anak desanya bakal sekolah di luar negeri. Mereka mengumpulkan uang untuk keberangkatan Marzuki dengan melelang karet. Marzuki juga pamit pada Gubernur Jambi, dan mendapat tambahan sangu. Dengan uang yang cukup, Marzuki berani kembali ke Yogya naik pesawat.

Sesampai di Yogya, Marzuki kaget luar biasa. Menurut Sukadji, ia tidak lulus tes, sehingga batal belajar ke Filipina. Untunglah Marzuki tidak patah arang, dia menebar 40 lamaran. Mujur, Departemen Keuangan memanggilnya. Bahkan atas bantuan Sumarlin dan Ali Wardhana, Marzuki bisa mendapatkan beasiswa Ford Faundation untuk kuliah di Durham, North Carolina, Amerika Serikat, sampai mendapat gelar MA.

Sumber: Wawancara PDA Tempo dengan Marzuki Usman tahun 1994, dan berbagai sumber. (Sumber : Tempo Interaktif, 1996).